Sediaan
parenteral merupakan sediaan steril. Sediaan ini diberikan melalui
beberapa rute pemberian yaitu intravena, intraspinal, intramuskuler,
subkutis dan intradermal. Apabila injeksi diberikan melalui rute
intramuscular, seluruh obat akan berada di tempat itu. Dari tempat
suntikan itu obat akan masuk ke pembuluh darah di sekitarnya secara
difusi pasif, baru masuk ke dalam sirkulasi. Cara ini sesuai utnuk bahan obat , baik yang bersifat lipofilik maupun yang hidrofilik. Kedua bahan obat itu dapat diterima dalam jaringan otot baik secara fisis maupun secara kimia. Ahkan bentuk sediaan larutan, suspensi, atau emulsi juga
dapat diterima lewat intramskuler, begitu juga pembawanya bukan hanya
air melainkan yang non air juga dapat. Hanya saja apabila berupa larutan
air harus diperhatikan pH larutan tersebut.
Istilah
parenteral berasal dari kata Yunani para dan enteron yang berari
disamping atau lain dari usus. Sediaan ini diberikan dengan cara
menyuntikkan obat di bawah atau melalui satu atau lebih lapisan kulit
atau membrane mukosa. Karena rute ini disekitar daerah pertahanan yang
sangat tinggi dari tubuh, yaitu kulit dan selaput/membrane mukosa, maka
kemurniaan yang sangat tinggi dari sediaan harus diperhatikan. Yang
dimaksud dengan kemurnian yang tinggi itu antara lain harus steril.
Obat suntik hingga volume 100 ml disebut sediaan parenteral
volume kecil sedangkan apabila lebih dari itu disebut sediaan
parenteral volume besar, yang biasa diberikan secara intravena.
Produk
parenteral, selain diusahakan harus steril juga tidak boleh mengandung
partikel yang memberikan reaksi pada pemberian juga diusahakan tidak
mengandung bahan pirogenik. Bebas dari mikroba (steril) dapat dilakukan
dengan cara sterilisasi dengan pemanasan pada wadah akhir, namun harus
diingat bahwa ada bahan yang tidak tahan terhadap pemanasan. Untuk itu
dapat dilakukan teknik aseptic.
Larutan
yang mengandung bakteri gram positif-negatif dapat saja memberikan
reaksi demam atau pirogenik walaupun larutan injeksi tersebut steril.
Reaksi demam atau pirogen ini disebabkan oleh adanya fragmen dinding sel
bakteri yang disebut “endotoksin”. Adanya endotoksin yang ditandai
dengan reaksi demam itu merupakan pertanda bahwa selama
proses produksi terjadi kontaminasi mikroba pada produk. Oleh sebab itu
dalam proses produksi sediaan parenteral diisyaratkan hal-hal sebagai
berikut:
1. Personil yang bekerja pada bagian produk steril harus memiliki moral dan etik professional yang tinggi.
2. Setiap personil mendapat latihan tentang sediaan steril secara lengkap.
3. Memiliki teknik spesialisasi untuk memproduksi sediaan steril.
4. Bahan yang digunakan harus bermutu tinggi.
5. Kestabilan dan kemanjuran produk harus terjamin.
6. Program pengontrolan (quality control) harus baik untuk memastikan mutu produk dan harus memenuhi keabsahan prosedur produksi.
Pengertian
Injeksi
(FI) adalah sediaan streil berupa larutan, emulsi atau suspensi atau
serbuk yang harus dilarutkan atau disuspensikan terlebih dahulu sebelum
digunakan, yang disuntikkan dengan cara merobek jaringan ke dalam kulit
atau melalui kulit atau selaput lender injeksi. Injeksi dibuat dengan
melarutkan, mengemulsikan atau mensuspensikan sejumlah obat ke dalam
sejumlah pelarut dan disisipkan dalam wadah takaran tunggal atau ganda.
Rute Pemberian
Rute
pemberian sedian parenteral atau injeksi dimuat dalam beberapa pustaka,
antara lain Farmakope Indonesia, Formularium Nasional kedua pustaka
tersebut di dalam antara kurung dan lain sebagainya. Pengetahuan tentang
rute pemebrian ini bukan dimaksudkan agar dapat menyuntikkan dengan
benar, tetapi untuk farmasis lebih ditekankan pada persyaratan produk
ditinjau secara farmasis
Persyaratan
farmasetik yang dimaksud antara lain pemilihan wadah dengan ukuran yang
tepat, penentuan pH, pemilihan bahan pengawet dan penetapan tonisitas.
Untuk jelasnya dapat diikuti uraian masing-masing rute pemberian
injeksi.
1. Pemberian Subkutis (Subkutan)
Lapisan
ini letaknya persis dibawah kulit, yaitu lapisan lemak (lipoid) yang
dapat digunakan untuk pemberian obat antara lain vaksin, insulin,
skopolamin, dan epinefrin atau obat lainnya. Injeksi subkutis biasanya
diberikan dengan volume samapi 2 ml (PTM membatasi tak boleh lebih dari 1
ml) jarum suntik yang digunakan yang panjangnya samapi ½ sampai 1 inci
(1 inchi = 2,35 cm)
Cara
formulasinya harus hati-hati untuk meyakinkan bahwa sediaan (produk)
mendekati kondisi faal dalam hal pH dan isotonis. FN (1978) mensyaratkan
larutannya isotoni dan dapat ditambahkan bahan vasokontriktor seperti
Epinefrin untuk molekulisasi obat (efek obat)
Cara pemberian subkutis lebih lambat apabila dibandingkan cara intramuskuler atau intravena. Namun apabila cara intravena volume besar tidak dimungkinkan cara ini seringkali digunakan untuk pemberian elektrolit atau larutan infuse i.v sejenisnya. Cara
ini disebut hipodermoklisis, dalam hal ini vena sulit ditemukan. Karena
pasti terjadi iritasi maka pemberiannya harus hati-hati. Cara ini dpata
dimanfaatkan untuk pemberian dalam jumlah 250 ml sampai 1 liter.
2. Pemberian intramuskuler
Intramuskuler
artinya diantara jaringan otot. Cara ini keceparan absorbsinya
terhitung nomor 2 sesudah intravena. Jarum suntik ditusukkan langsung
pada serabut otot yang letaknya dibawah lapisan subkutis. Penyuntikan
dapat di pinggul, lengan bagian atas. Volume injeksi 1 samapi 3 ml
dengan batas sampai 10 ml (PTM—volume injeksi tetap dijaga kecil,
biasanya tidak lebih dari 2 ml, jarum suntik digunakan 1 samai 1 ½ inci.
Problem klinik yang biasa terjadi adalah kerusakan otot atau syaraf,
terutama apabila ada kesalahan dalam teknik pemberian (ini penting bagi
praktisi yang berhak menyuntik). Yang perlu diperhatikan bagi Farmasis
anatara lain bentuk sediaan yang dapat diberikan intramuskuler, yaitu
bentuk larutan emulsi tipe m/a atau a/m, suspensi dalam minyak atau
suspensi baru dari puder steril. Pemberian
intramuskuler memberikan efek “depot” (lepas lambat), puncak konsentrasi
dalam darah dicapai setelah 1-2 jam. Faktor yang mempengaruhi pelepasan
obat dari jaringan otot (im) anatar lain : rheologi produk, konsentrasi
dan ukuran partikel obat dalam pembawa, bahan pembawa, volume injeksi,
tonisitas produk dan bentuk fisik dari produk. Persyaratan pH sebaiknya
diperhatikan, karena masalah iritasi, tetapi dapat dibuat pH antara 3-5
kalau bentuk suspensi ukuran partikel kurang dari 50 mikron.
3. Pemberian intravena
Penyuntikan
langsung ke dalam pembuluh darah vena untuk mendapatkan efek segera.
Dari segi kefarmasian injeksi IV ini boleh dikata merupakan pilihan
untuk injeksi yang bila diberikan secara intrakutan atau intramuskuler
mengiritasi karena pH dan tonisitas terlalu jauh dari kondisi
fisiologis. Kelemahan cara ini adalah karena kerjanya cepat, maka
pemberian antidotum mungkin terlambat. Volume pemberian dapat dimulai
Dari 1 ml hingga 100 ml, bahkan untuk infus dapat lebih besar dari 100
ml. Kecepatan penyuntikan samapi 5 ml diberikan 1 ml/10 detik, sedangkan
untuk di atas 5 ml kecepatannya 1 ml/20 detik. Intravena hanya terbatas
untuk pemberian larutan air, kalau merupakan bentuk emulsi harus
memenuhi ukuran partikel tertentu. Kalau dapay diusahakan pH dan
tonisitas sesuai dengan keadaan fisiologis.
4. Pemberian intrathekal-intraspinal
Penyuntikan
langsung ke dalam cairan serebrospinal pada beberapa temapt. Cara ini
berbeda dengan cara spinal anastesi. Kedua pemberian ini mensyaratkan
sediaan dengan kemurniaannya yang sangat tinggi, karena dearah ini ada
barier (sawar) darah sehingga daerahnya tertutup.
Sediaan
intraspinal anastesi biasanya dibuat hiperbarik yaitu cairannya
mempunyai tekanan barik lebih tinggi dari tekanan barometer. Cairan sediaan akan bergerak turun karena gravitasi, oleh sebab itu harus pada posisi pasien tegak.
5. Intraperitoneal
Penyuntikan langsung ke dalam rongga
perut, dimana obat secara cepat diabsorbsi. Sediaan intraperitoneal
dapat juga diberikan secara intraspinal, im,sc, dan intradermal
6. Intradermal
Capa
penyuntikan melalui lapisan kulit superficial, tetapi volume pemberian
lebih kecil dan sc, absorbsinya sangat lambat sehingga onset yang dapat
dicapai sangat lambat.
7. Intratekal
Digunakan
khusus untuk bahan obat yang akan berefek pada cairan serebrospinal.
Digunakan untuk infeksi ssp seperti meningitis, juga untuk anestesi
spinal. Intratekal umumnya diinjeksikan secara langsung pada lumbar
spinal atau ventrikel sehingga sediaan dapat berpenetrasi masuk ke dalam
daerah yang berkenaan langsung pada SSP.
Keuntungan dan kerugian
Keuntungan
- Respon fisiologis obat dicapai, jika diperlukan sehingga merupakan pertimbangan khusus untuk pasien jantung, asma, shcok, pingsan.
- Terapi parenteral menemukan obat-obatan yang bukan hanya efektif melalui mulut atau dirusak oleh saluran cerna seperti insulin, hormon dan antibiotik.
- Obat-obatan yang tidak kooperatif menimbulkan mual, muntah atau pasien tidak sadar harus diberikan IV
- Bila diinginkan terapi parenteral memberikan kesempatan kepada dokter utnuk mengontrol obat tersebut sehingga pasien harus kembali utnuk pengobatan selanjutnya.
- Dapat memberikan efek local seperti pada pembedahan gigi dan anestesi
- Dalam kasus dimana diinginkan efek obat diperpanjang, bentuk steroid yang berefek lambat secara intraartikular dan golongan penisilin yang berefek lama jika diberiakn secara i.m
- Juga merupakan cara pemberian yang sangat baik untuk cairan-cairan dan untuk keseimbangan elektrolit.
- Bila bahan makanan tidak dapat diberikan melalu mulut maka total nutrisi dapat diberikan secara parenteral
Kerugian
- Sediaan parenteral mempunyai dosis yang harus ditentukan lebih teliti waktu dan cara pemberian harus diberikan oleh tenaga yang sudah terlatih.
- Bila obat diberikan secara parenteral maka sulit dikembalikan efek fisiologisnya
- Sediaan parenteral merupakan sediaan mahal karena preparasi dan pembuatan secara khusus seperti menggnakan kemasan yang khusus dengan dosis yang sudah diatur sesuai kebutuhan
- Terapi parenteral akan meniulkan komplikasi dari beberapa penyakit seperti infeksi jamur, bakteri sehingga interaksinya tidak bisa dikendalikan
- Kemajuan dalam manufaktur atau pabrikasi atau kemasan menimbulkan beberapa masalah dalam sterilitas, partikulasi, pirogenitas, sterilisasi dll.
Sumber :
1. Ditjen POM, (1979), Farmakope Indonesia, Edisi III, Depkes RI, Jakarta.
2. Ditjen POM, (1995), Farmakope Indonesia, Edisi IV, Depkes RI, Jakarta.
3. Parrot, L.E., (1971), Pharmaceutical Technology Fundamental Pharmaceutics, Burgess Publishing Co, USA.
4. Jenkins, G.L., (1969), Scoville's:The Art of Compounding, Burgess Publishing Co, USA.
5. Gennaro, A.R., (1998), Remington's Pharmaceutical Science, 18th Edition, Marck Publishing Co, Easton.
6. Tjay, T.H., (2000), Obat-obat Penting, Edisi V, Depkes RI, Jakarta.
7. Ganiswara, S.B., (1995), Farmakologi dan Terapi, Edisi IV, Bagian Farmakologi FKUI, Jakarta.
8. Kibbe,A.H., (1994), Handbook of Pharmaceutical Excipient, The Pharmaceutical Press, London.
9. Lachman, L, et all, (1986), The Theory and Practise of Industrial Pharmacy, Third Edition, Lea and Febiger, Philadelphia.
10. Turco, S.,dkk., (1970), Sterile Dosage Forms, Lea and Febiger, Philadelphia.
11. Parfitt,K., (1994), Martindale The Complete Drug Reference, 32nd Edition, Pharmacy Press.
12. Groves,M.J., ( ), Parenteral Technology Manual, Second Edition, Interpharm Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar